Kebebasan Beragama; Sebuah Perjuangan Atas Nama Kemanusiaan

Beberapa waktu yang lalu saya sempat bergelut dengan penelitian terhadap pemikiran almarhum Gus Dur (KH. Abdurrahman Wahid). Topik yang saya angkat adalah pemikiran beliau tentang kebebasan beragama. Bagi saya penelitian ini adalah hal yang menantang dalam dua sisi. Pertama, sosok Gus Dur terkenal sebagai tokoh yang kontroversial sehingga banyak orang yang merasa kesulitan untuk memahami pemikirannya. Tantangan yang kedua, topik yang saya angkat ternyata cukup membuat saya masuk dalam kondisi kebingungan dalam tiga wilayah sekaligus, intelektual, perasaan, dan keyakinan.

Kebingungan ini mungkin dikarenakan karena saya terlalu memaksa untuk memikirkan secara mendalam dan cenderung filosofis masalah kebebasan beragama ini. Dan menurut saya setiap orang yang masuk dalam pemikiran ini akan akan berhadapan dengan ketiga hal di atas.

Dari yang saya pahami, masalah kebebasan beragama muncul dalam dataran realitas dimana praktek kebebasan dalam beragama ini masih belum dapat diaplikasikan dengan baik. Tindakan pemaksaan, perusakan, dan intimidasi terhadap pemeluk agama atau kelompok kepercayaan tertentu masih sering terjadi terutama oleh kelompok-kelompok yang berpandangan eksklusif dalam memahami ajaran agamanya. Ketika sudah berbicara masalah agama, maka mereka akan dengan mati-matian memperjuangkan keyakinan mereka apapun caranya. Klaim paling benar sendiri sementara orang lain salah, kafir, sesat, bid’ah dan seterusnya senantiasa menghiasi sepak terjang mereka. Ironisnya, tindakan mereka ini justru mengatasnamakan Islam, sebuah agama yang pada hakekatnya bermakna kedamaian. Jika sudah demikian halnya, akan dapat kita lihat dengan sangat jelas bahwa apa yang mereka lakukan hanya karena iming-iming pahala dan surga (jika bukan malah justru ada unsur-unsur kepentingan politis) yang sebenarnya merupakan motifasi keimanan yang paling rendah.

Perilaku-perilaku kekerasan yang tidak mengabaikan hak orang lain inilah yang sebenarnya paling tidak dapat diterima bagi sebagian besar umat Islam yang menghendaki keselerasan dalam kehidupan beragama. Islam adalah agama kedamaian yang selalu menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan. Islam tidak mengajarkan kekerasan dalam menyebarkan ajarannya, apalagi memaksa orang lain untuk masuk Islam. Setiap orang yang mau membaca sejarah dan riwayat-riwayat hidup Nabi – tentu saja dengan pembacaan yang menyeluruh, bukan parsial- akan dapat melihat bagaimana sikap menjunjung tinggi kebebasan beragama diajarkan oleh Nabi. Kita bisa melihat misalnya ketika Nabi mempersilakan rombongan orang Nasrani yang mengunjungi Nabi untuk melaksanakan kebaktian di dalam Masjid. Sebuah contoh toleransi yang luar biasa yang sangat jauh berbeda jika kita bandingkan dengan pemahaman kelompok-kelompok eksklusif.

Masalah keyakinan adalah masalah yang paling prinsip yang tidak dapat diganggu oleh siapapun. Termasuk petunjuk untuk memeluk dan meyakini ajaran Islam (hidayah), Tuhan sudah menyatakan dengan tegas bahwa hal ini adalah murni hakNya. Tidak ada seorangpun yang bisa melakukannya, bahkan Nabi sekalipun. Bahkan Nabi sempat ditegur oleh Tuhan terkait dengan keinginannya yang begitu kuat agar pamannya, Abu Thalib, masuk Islam. Sehingga yang bisa kita lakukan adalah menerima kenyataan keberagaman yang ada yang semuanya tidak lain adalah kehendak Tuhan sendiri. Tugas kita dalam kehidupan ini adalah menjalankan peran kita sesuai dengan status kita masing-masing tanpa harus mempermasalahkan status orang lain selama mereka juga menerima kita. Semua yang kita yakini dan kita kerjakan di dunia adalah sebuah proses yang tidak akan pernah ada jawaban pastinya. Karena sebagaimana dikatakan oleh Tuhan sendiri, Ia yang akan menunjukkan jawabannya kelak di hari kemudian. Jika hal ini dapat dipahami, maka tidak akan ada lagi suara-suara yang mengaku sebagai wakil Tuhan.

Dari keyakinan yang mendasar inilah, sikap-sikap saling menghormati dan menghargai orang lain tanpa melihat siapa dirinya akan dapat dibangun. Setiap orang berhak memilih agama yang diyakininya, jalan yang akan mengantarkannya menuju Tuhan. Dan hanya Tuhan yang berhak memutuskan apakah jalan yang ditempuhnya itu benar atau salah, bukan manusia.

Kita mungkin menyatakan bahwa agama kitalah yang benar, dan yang lain salah. Tapi jangan lupa, merekapun memiliki keyakinan yang sama, agama mereka yang benar, dan agama kita salah. Hal ini jika dibiarkan dengan hanya menuruti kehendak masing-masing, maka hasilnya hanya perpecahan dan permusuhan yang tidak akan ada hentinya. Oleh karena itu jalan satu-satunya yakni dengan menumbuhkan sikap saling menghargai diikuti dengan sikap saling terbuka untuk menerima kebenaran dari manapun datangnya. Kebesaran jiwa seperti inilah yang diajarkan oleh Guru Bangsa kita, Gus Dur lewat kata-katanya “Saya seorang muslim tetapi Ghandian”. Sebuah sikap yang menunjukkan keluasan sikap seorang muslim untuk menerima nilai-nilai yang baik dari manapun datangnya. Sikap seperti ini yang tidak dimiliki oleh mereka yang sangat alergi dengan setiap hal yang berasal dari luar Islam.

Memperjuangkan kebebasan beragama dan toleransi antar umat beragama merupakan sebuah perjuangan kemanusiaan, sebuah usaha dalam rangka kembali kepada hakikat penciptaan manusia yang berbeda-beda. Untuk menjaga agar semua perbedaan-perbedaan itu berjalan sesuai dengan fitrahnya hanya ada satu cara yang dapat dilakukan, yakni dengan menyadari bahwa kita dan mereka adalah sama-sama manusia.

 

Ainul Yaqin, S.H.I., M.Sy.

Dosen Fakultas Syariah

Leave a Comment