Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT) di Mata Hukum

Angka Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT) di Indonesia terus meningkat. Hal itu dari data yang dikeluarkan oleh Komisi Nasional Perempuan mencatat di tingkat nasional jumlah korban kekerasan terhadap perempuan terutama KDRT pada awal Tahun 2016 tercatat lebih dari 305.535 kasus kekerasan terhadap perempuan sebanyak 69% dikarenakan KDRT. Dikutip dari independen.id, kekerasan terhadap perempuan tersebut menjadi penyumbang angka perceraian di berbagai daerah di Indonesia.

Tindak kekerasan dalam rumah tangga (domestic violence) merupakan jenis kejahatan yang kurang mendapatkan perhatian dan jangkauan hukum. Pelaku dan korban tindak kekerasan di dalam rumah tangga bisa menimpa siapa saja, tidak dibatasi oleh strata, status sosial, tingkat pendidikan dan suku bangsa. Akhir-akhir ini di berbagai media massa banyak berita tentang kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), bahkan tidak jarang kita menemukan KDRT di lingkungan kita, akan tetapi apa yang bisa kita lakukan ? Apakah kita paham tentang lingkup KDRT itu sendiri sehingga dapat meminimalisir kejadian?

Siklus Kekerasan dalam Rumah Tangga

Kekerasan dalam Rumah Tangga merupakan perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya penderitaan secara fisik, seksual, psikologis dan atau penelantaran rumah tangga. KDRT juga meliputi ancaman melakukan perbuatan, pemaksaan atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga. Penyebab KDRT diantaranya karena laki-laki dan perempuan tidak dalam posisi yang setara, KDRT dianggap bukan sebagai permasalahan sosial tetapi persoalan pribadi terhadap relasi suami istri. Korba KDRT sebagian besar adalah kaum perempuan (istri) dan pelakunya adalah suami, meskipun ada juga korban justru sebaliknya, atau orang-orang yang tersubordinasi di dalam rumah tangga itu.

Tindak kekerasan dalam rumah tangga pada umumnya melibatkan pelaku dan korban diantara anggota keluarga di dalam rumah tangga, sedangkan bentuk tindak kekerasan bisa berupa kekerasan fisik dan kekerasan verbal (ancaman kekerasan). Pelaku atau korban KDRT adalah orang yang mempunyai hubungan darah, perkawinan, persusuan, pengasuhan, perwalian dengan suami dan anak serta pembantu rumah tangga yang tinggal dalam sebuah rumah tangga. Kekerasan dalam rumah tangga diatur pada Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (Wetboek Van Starfrecht, Staatsblad 1915 No 73), dan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga.

Jenis Kekerasan dalam Rumah tangga yaitu, Kekerasan Fisik, Psikis, Seksual dan Ekonomi. Kekerasan Fisik berupa cedera, luka, cacat, hingga menyebabkan kematian. Kekerasan Psikis berupa tindakan pengendalian, manipulasi, eksploitasi, kesewenangan, perendahan dan penghinaan dalam bentuk pelarangan, pemaksaan dan isolasi sosial. Kekerasan Seksual berupa pelecehan seksual, pemaksaan seksual. Kekerasan Ekonomi berupa tindakan eksploitasi, manipulasi, dan pengendalian lewat sarana ekonomi seperti memaksa korban bekerja dengan cara eksploitatif, melarang korban bekerja tetapi menelantarkannya, mengambil harta benda korban tanpa sepengetahuan dan tanpa persetujuan korban, merampas dan atau memanipulasi harta benda korban.

Dampak kekerasan yang dilakukan suami terhadap istri atau sebaliknya tidak jarang berujung dengan perceraian karena setiap kekerasan yang dilakukan didalamnya akan mempengaruhi emosi dan psikis korban. Secara Fisik bagi korban yang mengalami kekerasan secara fisik akan terlihat dari perubahan bentuk fisik sehingga berdampak pada kecacatan. Secara Psikis korban yang mengalami kekerasan secara psikis dapat mengalami gangguan jiwa dari ringan sampai berat.

KDRT merupakan masalah yang sering terjadi didalam rumah tangga, oleh karena itu perlu pencegahan secara dini, Pendidikan agama dan pengamalan ajaran agama di rumah tangga merupakan kunci sukses untuk mencegah terjadinya KDRT. Oleh karena itu peranan para pemuka agama, pendidik, sosiolog dan cendikiawan, harus berada digarda terdepan untuk terus menyuarakan pentingnya rumah tangga sebagai unit terkecil dalam masyarakat untuk dibangun secara baik dan jauh dari KDRT. Penanaman nilai-nilai kehidupan pada anggota keluarga hendaknya dimulai ketika membentuk keluarga baru dalam pembacaan dan pemahaman sighat taklik yang mengandung nilai-nilai tanggungjawab bahwa seorang suami harus memiliki tanggung jawab untuk menafkahi, memiliki tanggung jawab untuk melindungi. Kestabilan dan keharmonisan keluarga keluarga perlu ditanamkan kepada setiap anggota keluarga guna memiliki pemahaman nilai-nilai luhur (agama) untuk saling mengasihi, membantu, menghormati dan menjaga perasaan orang lain.

 

Pangestika Rizki Utami, S.H., M.H.

Dosen Fakultas Syariah, Advokat

Leave a Comment