Menangkal Radikalisme dengan Moderatisme; Wawancara dengan KH. Drs. Mughni Labib, M.Ag.

Upaya untuk menangkal radikalisme menjadi tugas bagi semua pihak yang peduli pada keberlangsungan harmonisme kehidupan beragama dan berbangsa. Dalam kesempatan ini, Muchimmah, S.H.I., M.H., berkesempatan menggali pandangan dari seorang tokoh ulama dan akademisi, KH. Drs. Mughni Labib, M.Ag., terkait problem radikalisme dan upaya untuk menangkalnya. Berikut rangkuman hasil wawancaranya.

Bagaimana pandangan Bapak terkait fenomena radikalisme?

Kalo mengacu pada arti bahasa, saya mengutip ucapan Menteri Agama, radikal itu pemikiran secara mendalam. Sebenarnya radikal itu sendiri dibutuhkan oleh agama, siapa pun dan agama apapun. Konsekuensi beragama ya harus radikal, dalam arti mengakar dan mendalam. Kalo dalam bahasa agama kita at-tafaqquh fi ad-din (mendalami agama).

Cuma memang ada ekses-ekses negatif yang kemudian muncul akibat terlalu ekstrim dalam memahami agama. Radikalisme itu inti masalahnya pada sikap ekstrim. Karena merasa sudah mendalam akhirnya mengabaikan pemahaman yang lain, menyalahkan yang lain. Menurut saya itu tidak benar. Ekstrimisme misalnya, mereka prinsipnya kalau tidak sependapat dengan saya berarti kufur. Bahkan bukan hanya orang non muslim yang dikafirkan, tapi muslim juga ikut dikafirkan.

Menurut Bapak, apa yg menyebabkan munculnya paham radikalisme?

Pendalaman agama dari satu sisi saja, tidak dari awal layaknya kita dari kecil ngaji alif ba ta, lalu kajian fikih, akhlak baru kemudian tafsir dan hadis. Kalau yang radikalisme jadi ekstrimisme, dia itu tidak dari awal SD, SMP tidak ngaji.Tahu tahu dia di perguruan tinggi ketemu dengan ilmu jihad dan kemudian tertarik. Karena tidak belajar dari awal maka sangat mudah untuk kemudian dibangun menjadi pemikiran yang ekstrim. Tapi ya ada juga orang yang belajar dari tahap demi tahap, tapi kemudian juga kepincut. Mungkin dikosongkan pemikirannya kemudian diberi pemikiran baru. Tapi yang seperti ini sedikit dibandingkan dengan mereka yang tidak belajar dari tahap demi tahap. Mereka yang hanya belajar disekolah formal itu yang sangat mudah diberi pemikiran yang ektrim. Maka di nusantara ini dikenal dengan istilah islam yang moderat atau islam yang rahmatallil’alaamin. Ciri-cirinya Islam yang moderat itu ada lima, at-tawasut (sikap tengah-tengah), at-tawazun (seimbang antara dalil ‘aqli dan naqli), al-i’tidal (seimbang antara hak dan kewajiban), at-tasamuh (saling menghormati), dan amar makruf nahi mungkar.

Menurut Bapak, apa solusi untuk menangkal radikalisme?

Ya dengan tadi itu, menerapkan lima ciri Islam yang moderat dalam kepribadian kita.

Apa sih sebetulnya yang dimaksud dengan Islam yang moderat?

Islam yang mengacu tetap pada al-Qur’an dan al-hadis akan tetapi pemikirannya tidak tekstual, tapi kontekstual, ada hal-hal yang dipengaruhi oleh lingkungan. Seperti contohnya adanya qaul qadim dan qaul jadid nya Imam Syafi’i. Teks teks yang ada tetap dipakai sebagai dasar tapi dalam memahaminya sesuai dengan kemoderatan kita sehinga kemudian ada yang namanya hukum yang wajib sunnah mubah makhruh dan sebagainya.

Lalu bagaimana caranya membangun sikap moderat di kalangan umat Islam?

Banyak caranya. Antara lain lewat media silaturrahmi, pendekatan pada generasi muda, lewat khutbah jum’at. Dalam kesempatan-kesempatan itu kita berikan pemahaman beragama yang mengedepankan ilmu dan toleransi, tidak ekstrim.

Terkait fenomena radikalisme di kampus, sebagai dosen, menurut Bapak bagaimana cara menangkal paham radikalisme dan menanamkan sikap moderat di lingkungan kampus, khususnya kpd mahasiswa?

Dimulai dari dosen. Keberhasilannya 90 persen tergantung pada dosen. Misalnya referensi-referensi yang dipakai dosen ketika mengajar, bagaimana dosen memberikan keteladanan. Saya kira dosen dan mahasiswa perlu dikumpulkan tiap tahun beberapa kali secara bertahap. Contohnya seperti seminar tentang radikalisme belum lama ini. Selain itu rektor perlu mengingatkan, setiap tahun sekali atau satu semester satu kali agar pemahaman seluruh civitas akademika terjaga pada rel pemahaman agama yang moderat.

Leave a Comment