Menyikapi Radikalisme di Kalangan Remaja
Tahun 2018 menjadi babak baru radikalisme yang berujung pada terorisme di Indonesia. Bagaimana tidak, aksi-aksi terorisme semakin menunjukan “style” yang berbeda dari tahun-tahun sebelumnya. Biasanya, tindakan teror yang ekstrim dilakukan oleh seorang/beberapa orang pria yang nekat melakukan aksi bom bunuh diri. Namun, 2018 ini publik cukup dicengangkan dengan berbagai aksi-aksi teror dengan “style” yang berbeda. Aksi yang cukup mencengangkan pertama diawali dengan penyerangan para tahanan teroris di MAKO BRIMOB. Dalam aksi tersebut, tidak tanggung-tanggung korban tewas dari pihak kepolisian mencapai 5 (lima) orang, dengan luka-luka yang cukup mengenaskan. Pelakunya sebagian masih ada yang masuk kategori usia remaja. Selang beberapa hari kemudian, publik kembali dikejutkan dengan aksi teror di Surabaya. Dalam waktu yang hampir bersamaan, tiga bom meledak di tiga gereja dengan para pelaku yang berasal dari satu keluarga. Ini pertamakalinya di Indonesia pelaku bom bunuh diri dilakukan sekeluarga, termasuk wanita (ibu), dua anak remaja laki-laki dan 2 anak perempuan dibawah umur. Kemudian disusul aksi-aksi susulan yang terjadi di berbagai wilayah di Indonesia.
Radikalisme, secara etimologis berasal dari kata radix (latin) yang memiliki arti “akar”, kemudian menjadi inti dari makna radicalism yang secara politik diarahkan kepada setiap gerakan yang ingin mengubah sistem dari akrnya. Kalidjernih dalam kamus studi kewarganegaraan, mengatakan bahwa radikalisme adalah suatu koimitmen kepada perubahan keseluruhan yakni yang menantang struktur dasar atau fundamental, tidak hanya pada lapisan-lapisan superfisial.
Radikalisme tidak lain adalah embrio dari hampir setiap tindakan terorisme di belahan dunia. Sebagai suatu sikap yang mendambakan perubahan secara total dan bersifat revolusioner dengan menjungkirbalikkan nilai-nilai yang ada secara drastis lewat kekerasan (violence) dan aksi-aksi yang bisa dibilang ekstrim, radikalisme menurut BNPT (Badan Nasional Penanggulangan Terorisme) memiliki 4 (empat) ciri yang dapat dikenali. Pertama, intoleran, yaitu tidak mau menghargai pendapat dan keyakinan orang lain. Kedua, fanatik, yaitu selalu merasa benar sendiri dan menganggap orang lain salah. Ketiga, eksklusif, yaitu membedakan diri dari umat islam umumnya dan yang keempat adalah revolusioner yaitu cenderung menggunakan cara-cara kekerasan untuk mencapai tujuan.
Terorisme sendiri dalam UU No.15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme disebutkan sebagai: “Setiap orang yang dengan sengaja menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan menimbulkan situasi teror atau rasa takut terhadap orang secara meluas atau menimbulkan korban yang bersifat massal, dengan cara merampas harta benda orang lain, atau mengakibatkan kerusakan atau kehancuran terhadap objek-objek vital strategis atau lingkungan hidup atau fasilitas internasional.
Radikalisme di Indonesia bukan hal baru sebenarnya, namun reformasi 1998 menjadi momentum bagi gerakan radikalisme untuk menciptakan wadah-wadah “legal”. Euforia reformasi memberikan “kebebasan” bagi semua faham termasuk radikalisme. Faham ini tidak lagi menjadi diskusi kaum-kaum intelektual yang terkesan eksklusif, namun merambah pada lini pendidikan formal di bangku sekolah.
Gerakan ROHIS (Rohani Islam) yang ada di SMA/K Negeri dikota besar menjadi salah satu contoh sarana berkembangnya pemikiran radikal di kalangan remaja. Idealnya ROHIS mendapat bimbingan langsung dari guru agama dari sekolah tersebut. Namun di era akhir 1990 an gerakan ROHIS meskipun secara struktur organisasi mendapat bimbingan dari Guru Agama sekolah tersebut namun kegiatan-kegiatan banyak dilakukan dengan pembimbing dari luar, sebagian besar adalah mahasiswa-mahasiswa yang membawa pemikiran-pemmikiran radikal.
Dalam melaksanakan kegiatan-kegiatan ROHIS seringkali dijumpai penggunaan istilah-istilah berbahasa Arab. Sapaan untuk laki-laki misalnya, menjadi akhy, sementara perempuan ukhty, pengajar menjadi murabbi, perkumpulan untuk diskusi disebut sebagai liqa, camping menjadi mabit dan sebagainya. Ketika liqa ini dibimbing oleh para murabbi yang seringkali merupakan para mahasiswa sudah barang tentu melebar dari materi keagamaan yang sudah ditentukan oleh dinas pendidikan pada pendidikan formal (kurikulum pada SMA/SMK).
Pelajar SMA/K memang menjadi sasaran gerakan radikalime, karena memang usia remaja identik sebagai usia untuk mencari jatidiri. Dalam liqa-liqa di kalangan pelajar SMA/K tersebut berbagai materi yang disajikan mampu mempengaruhi pola pikir keagamaan mereka. Jika dikaitkan dengan faktor-faktor pendorong yang disebutkan oleh BNPT sebelumnya, maka faktor-faktor inilah yang kerapkali dimunculkan dalam liqa-liqa. Pertama, faktor domestik. Dalam liqa seringkali dibahas hukum yang tidak adil karena merupakan hukum buatan manusia serta pemerintahan yang tidak sesuai syariat Islam, bahkan saat menjelang PEMILU (pemilihan umum) murabbi tidak segan-segan menyarankan untuk tidak ikut memilih dalam pesta demokrasi tersebut (memilih untuk golput). Kedua, faktor internasional. Isu-isu Palestina menjadi bahasan utama dalam menumbuhkan ukhuwah islamiyah. Palestina menjadi potret imperialisme di era Modern, dimana organisasi dunia sekelas PBB tidak mampu menyelesaikan konflik Palestina-Israel. Tidak jarang murabbi menampilkan foto-foto serta video-video perjuangan masyarakat palestina, mulai dari perjuangan para syuhada, sampai kondisi menyedihkan warga Palestina di pengungsian. Ketiga, faktor kultural. Bisa difahami pelajar SMA/SMK yang tertarik mengikuti gerakan tersebut sebagian besar tidak memiliki background keagamaan yang kuat dari lingkungan keluarga. Maka sangat wajar jika mereka menelan mentah-mentah apa saja yang disampaikan oleh murobbi baik secara langsung maupun melalui sarana media Online. Sehingga corak pemahaman agama mereka relatif dangkal serta penafsiran kitab suci yang sempit dan leksikal (harfiyah) saja.
Dari paparan tersebut diatas, jika dibiarkan maka sudah barang tentu bibit-bibit radikalisme yang melahirkan terorisme akan selalu miningkat setiap tahunnya. Untuk itu menjadi kewajiban bersama untuk membentengi generasi muda (khususnya usia sekolah) dari paparan pemikiran tersebut. Setidaknya ada tiga institusi sosial yang berperan untuk ini. Pertama, melalui peran lembaga pendidikan, guru dan kurikulum dalam memperkuat wawasan kebangsaan, sikap moderat dan toleran, serta tidak membiarkan masuknya murabbi-murabbi ke lingkungan sekolah (ROHIS). Kedua, keluarga, peran orangtua dalam mencipatakan lingkungan rumah yang toleran serta bersama-sama mempelajari agama yang moderat mampu menciptakan ruang diskusi yang nyaman bagi remaja. Ketiga, komunitas, dengan mengikuti komunitas yang moderat akan mempengaruhi cara pandang keagamaan serta bernegara pada remaja. Jika ketiganya didapatkan oleh seorang remaja, bisa dipastikan faham radilakisme yang berujung pada terorisme akan sulit diterima oleh remaja tersebut.
Eva Miratun Niswah, S.H.I., M.H.
Dosen Fakultas Syariah