PENATAAN ULANG PERDA BERBASIS KONSTITUSI

Oleh: M. Wildan Humaidi, S.H.I, M.H.

Problematika Peraturan Daerah (Perda) hari-hari ini menjadi perbincangan di ruang publik. Diskursus ini bermula pasca Presiden Joko Widodo dengan didampingi Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo, Menteri Sekretaris Negara Pratikno, Sekretaris Kabinet Pramono Anung, dan Kepala Staf Presiden Teten Masduki secara resmi menyatakan pembatalan terhadap 3. 143 Perda, pada hari senin (13/06/16) di komplek Istana Kepresidenan. Pembatalan tersebut dimaksudkan untuk meninjau ulang sekian Perda yang dinilai telah bertentangan dan menyimpang dari visi dan misi pembangunan Indonesia ke depan. Karena senyatanya, selama ini banyak perda yang diproduksi oleh pemerintahan daerah justru menghambat kecepatan dalam menghadapi kompetisi di bidang investasi.

Dari sekian ribu perda yang direview dan berujung pada pembatalan tersebut, hampir secara keseluruhan merupakan perda yang berkaitan dengan laju pertumbuhan ekonomi daerah, pelayanan birokrasi, perizinan, dan permodalan. Sisanya adalah perda-perda yang berhubungan dengan semangat kebhinekaan dan persatuan dalam berbangsa dan bernegara, serta perda-perda yang dinilai bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang di atasnya.

Dalam nalar dan logika konstitusi, pembentukan perda merupakan kewenangan dari pemerintahan daerah, sebagaimana dinyatakan secara eksplisit di dalam Pasal 18 ayat (6) UUD NRI Tahun 1945. Kewenangan pemerintahan daerah tersebut lahir setelah rezim reformasi dideklarasikan secara resmi di dalam amandemen UUD 1945 sebagai bukti bahwa keran otonomi daerah telah dibuka selebar-lebarnya. Kewenangan pemerintahan daerah dalam membentuk perda dijalankan dalam rangka menjalankan otonomi dan tugas pembantuan.

Kerangka porsi otonomi dan tugas pembantuan yang dijalankan oleh pemerintahan daerah tersebut pun sudah dibagi secara proporsional berdasarkan besaran dan urgensi kewenangan antara pemerintahan pusat dan pemerintahan daerah. Pembagian tersebut tentunya diharapakan agar terwujudnya pelayanan pemerintahan yang efektif dan efisien guna mempercepat laju pertumbuhan kesejahteraan masyarakat. Berdasarkan amanah  Pasal 9 UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, kewenangan tersebut terdiri dari urusan pemerintahan absolut yang menjadi kewenangan penuh pemerintahan pusat, urusan pemerintahan konkuren yang menjadi kewenangan antara pemerintahan pusat dan pemerintahan daerah, dan urusan pemerintahan umum yang secara mutlak dimiliki presiden sebagai kepala pemerintahan (chief excecutive).

Jika berpijak pada porsi pembagian kewenangan antara pemerintahan pusat dan pemerintahan daerah, terdapat irisan kewenangan yang dimilki pemerintahan daerah dalam membentuk perda. Pemerintahan daerah berhak membentuk perda yang menjadi urusan pemerintahan konkuren. Menariknya, ternyata justru selama ini banyak perda-perda yang bermunculan di luar irisan kewenangan dari pemerintahan daerah. Tak sedikit perda yang senyatanya malah memiliki materi muatan peraturan perundang-undangan yang seharusnya menjadi urusan kewenangan pemerintahan absolut. Salah satu contohnya adalah perda syariah yang akhir-akhir ini menuai kontroversi di kalangan publik.

Secara tertib rezim hukum pemerintahan daerah, sebenarnya urusan agama menjadi bagian dari urusan pemerintahan absolut. Ada enam kewenangan pemerintahan absolut yang secara an sich menjadi kewenangan dari pemerintahan pusat, yaitu; urusan politik luar negeri, pertahanan, keamanan, yustisi, moneter dan fiskal nasional, serta agama. kesemuanya menjadi kewenangan pemerintahan pusat secara penuh, tanpa ada irisan kewenangan bagi pemerintahan daerah.

Urusan agama dalam kaitannya dengan pemerintahan daerah, bukanlah menjadi urusan yang diotonomikan kepada pemerintahan daerah. Agama menjadi domain penuh dari kewenangan pemerintahan pusat. Hal ini didasarkan justru pada logika untuk menjamin keberlangsungan keber-agama-an di masyarakat. Akan menjadi tidak wajar tentunya, jika antar daerah mempunyai pengaturan mengenai agama masing-masing. Misalkan saja, daerah A hanya memperbolehkan adanya suatu agama dan kepercayaan atau praktek peribadatan tertentu, dan daerah B juga sama mengikutinya, atau sekalipun berbeda. Maka pengaturan demikian justru mengantarkan pada terancamnya jaminan kebebasan beragama dan berkeyakinan di Indonesia.

Oleh karenanya, problematika Perda harus didudukkan secara netral dan tertib konstitusi. Bagaimanapun Perda adalah instrumen hukum pengemban amanah konstitusi, sudah semestinya perda juga menjadi pelaksana atas jaminan kebebasan beragama di Indonesia, sebagaimana diatur dalam Konstitusi Pasal 29 UUD NRI Tahun 1945. Jaminan kebebasan dan berkeyakinan sudah seharusnya senantiasa disemai, dipupuk dan dirawat dengan baik, agar persatuan dan kebhinekaan tetap berjalan damai dalam bingkai ke-Indonesia-an.

Menata Ulang Hierarki Peraturan Perundang-Undangan

Berdasarkan hierarki peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia, sesuai dengan Pasal 7 UU No. 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundangan-Undangan, perda merupkan bentuk legislasi terakhir sebagai instrumen hukum di Indonesia. Urutan itu berlaku hierarkis, dimulai dengan Undang-Undang Dasar (UUD Tahun 1945); Ketetapan MPR; Undang-Undang atau Perppu; Peraturan Pemerintah; Peraturan Presiden; Perda Provinsi; dan Perda Kabupaten/Kota. Jika prinsip hierarki hukum itu diderivasikan secara benar, maka posisi perda sangat penting dalam mengatur kehidupan masyarakat, khususnya masyarakat di daerah. Perda menjadi alat pengejawantahan amanah konstitusi, sekaligus berfungsi menjadi peraturan teknis untuk mewujudkan pembangunan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

Pertanyaannya, apakah tertib hierarki peraturan perundang-undangan di Indonesia sudah diturunkan dan dijalankan dengan benar dan tepat?. Nampaknya jawaban ideal pertanyaan tersebut masih jauh panggang daripada api. Faktanya, di level undang-undang saja, sebagai turunan kedua setelah Ketetapan MPR, nasibnya banyak yang berujung di Mahkamah Konstitusi. Deretan produk legislasi tersebut hampir semuanya pernah diajukan judicial review di Mahkamah Konstitusi. Dan tak sedikit pula yang akhirnya dinyatakan batal secara keseluruhan.

Oleh karenanya, pembatalan Perda yang dilakukan pemerintahan Jokowi ini perlu diapresiasi, sekaligus menjadi momentum untuk mengembalikan nyawa Perda agar sejalan dan senyawa dengan amanah konstitusi. Tentunya, dengan menertibkan segala peraturan perundang-undangan di bawah hierarki konstitusi. Tidak cukup berhenti pada pembatalan perda semata, review juga harus dilakukan pada Peraturan Presiden hingga level Undang-Undang, baik dengan executive review  maupun melalui proses judicial review. Sudah semestinya instrumen hukum sebagai pranata kehidupan masyarakat berjalan satu arah dan satu tujuan, bukan malah saling over-lap satu sama lain.

 

Penulis adalah Dosen Hukum Tatanegara IAIN Purwokerto

dan Peneliti Pusat Kajian Konstitusi dan Kebijakan Daerah (PK3D) IAIN Purwokerto

Leave a Comment