Quo Vadis Fakultas Syariah?

Apa yang terlintas di pikiran orang ketika mendengar kata syariah? Beberapa poin yang biasanya muncul adalah: Islam, fikih, hukum, al-Quran, hadis, kitab dan beberapa kata lain yang semuanya berbau Islam. Term syariah memang selama ini diidentikan dengan hukum Islam. Lalu jika kata syariah ini kemudian diadopsi menjadi nama sebuah lembaga, Fakultas Syariah, tentu saja akan berbeda dengan kandungan makna yang pertama. Secara sekilas, orang akan berfikir bahwa Fakultas Syariah tentu adalah sebuah Fakultas yang didalamnya dikaji seputar ilmu-ilmu keislaman, lebih khusus lagi ilmu hukumnya.

Bisa jadi, keberadaan Syariah, baik dalam bentuk jurusan maupun fakultas, awalnya memang dikhususnkan untuk mengkaji ilmu hukum Islam. Namun dalam perkembangannya, bukan hanya ilmu hukum Islam saja yang dikaji, melainkan juga ilmu hukum umum atau hukum positif ikut dimasukkan sebagai bagian dari keilmuan yang dikaji.

Hal tersebut dilatarbelakangi adanya kebutuhan agar lulusan Syariah tidak hanya tahu tentang hukum Islam namun buta terhadap hukum positif yang notabene menjadi hukum yang berlaku di Indonesia. Jika yang dipelajari di Syariah hanya sebatas hukum Islam, dikhawatirkan ilmu yang dipelajari hanya sebatas teori yang jauh dari praktek. Dengan demikian, integrasi hukum umum sebagai bagian dari keilmuan yang dipelajari di Fakultas Syariah menjadi sesuatu yang niscaya.

Dengan adanya integrasi keilmuan semacam itu, Fakultas syariah diharapkan memiliki kapabilitas yang lengkap, di samping menguasai hukum Islam, juga menguasai hukum umum. Sebuah nilai lebih dibandingkan Fakultas Hukum umum.

Pada kelanjutannya, sistem di Indonesia akhirnya mengakui bahwa lulusan Fakultas Syariah layak disejajarkan dengan lulusaan Fakultas Hukum dalam beberapa bidang. Sebagai contoh, undang-undang tentang advokat telah memberikan kesempatan kepada para alumni fakultas Syariah untuk menjadi advokat dan praktisi hukum lainnya.

Perkembangan yang menggembirakan tersebut ternyata bukan tanpa masalah dan kontra. Di antara kontroversi itu adalah adanya anggapan bahwa Fakultas Syariah tidak cukup membekali para mahasiswanya dalam bidang hukum sekalipun mereka belajar beberapa materi hukum. Realitanya, porsi antara materi hukum Islam dan hukum umum memang belum sebanding. Alih-alih menciptakan lulusan yang mumpuni dalam dua bidang sekaligus, Fakultas Syariah justru hanya menciptakan lulusan yang setengah-setengah.

Permasalahan di atas tentu bukan hal yang mudah untuk diatasi. Di satu sisi, Fakultas Syariah sebagai bagian dari institusi yang membawa label Islam, tidak bisa dan bahkan tidak boleh kemudian meninggalkan ciri khasnya. Namun di sisi lain, tuntutan kebutuhan di tataran praktis memancing keinginan untuk mengintegrasikan keilmuan Islam dengan ilmu umum. Di posisi persimpangan seperti ini, perlu ada upaya untuk merumuskan formulasi yang tepat seperti apa konstruk keilmuan syariah akan dibangun.

Jika pilihan integrasi tersebut sudah menjadi sesuatu yang tidak dapat dielakkan, maka langkah selanjutnya yang perlu diputuskan adalah terkait profil lulusan yang menjadi target Fakultas Syariah. Profil lulusan menjadi acuan seperti apa bentuk pembelajaran yang akan diterapkan Fakultas pada masing-masing program studinya.

Yang kedua, yang perlu diputuskan adalah porsi masing-masing keilmuan hukum Islam dan hukum umum yang akan dikaji. Porsi mata kuliah akan sangat menentukan kemampuan lulusan nantinya sesuai dengan profil lulusan yang telah dirumuskan di awal.

Tahap selanjutnya adalah terkait tenaga pengajar yang akan mengisi di Fakultas Syariah. Adanya materi-materi hukum umum yang diajarkan di Fakultas Syariah menuntut Fakultas untuk merekrut tenaga pengajar yang juga mumpuni dalam keilmuan tersebut sesuai dengan porsi yang sesuai dengan banyak sedikitnya materi hukum yang dipelajari.

Saat ini muncul kecenderungan untuk merubah nomenklatur baik fakultas, jurusan maupun program studi dengan dalih agar lebih marketable dan mudah diterima dan dipahami oleh masyarakat luas. Sekedar contoh, program studi Akhwal Syakhsiyyah dirubah namanya menjadi Hukum Keluarga. Perubahan tadi di satu sisi memudahkan masyarakat untuk memahami kira-kira apa yang dipelajari di dalamnya. Di sisi lain, dengan perubahan nama menjadi Hukum Keluarga, tanpa embel-embel Islam di dalamnya, meenimbulkan beberapa pertanyaan muncul. Kasus serupa ada pada program studi Hukum Tata Negara (HTN), juga tanpa embel-embel Islam, yang padahal di dalam lingkup jurusan Pidana dan Politik Islam (garisbawahi kata “Islam”). Apakah tidak dicantumkannya nama Islam hanya sebatas nama yang tidak berpengaruh pada isinya, atau sebaliknya.

Kemungkinan pertama nama tadi hanyalah sekedar nama yang tidak berpengaruh terhadap isi, sebagaimana ungkapan Shakespeare “what is in a name”. dengan kata lain, materi-materi yang diajarkan tetap memfokuskan pada keilmuan Islam. Jika kemungkinan ini yang terjadi, bisa jadi akan banyak mahasiswa, yang memang sejak awal tidak tertarik dengan keilmuan Islam, akan menyesal ketika sudah menjali perkuliahan karena ekspetasi mereka program studi yang mereka masuki tanpa embel-embel Islam, namun kenyataanya namanya berbeda dengan isinya. Kemungkinan kedua, nama tersebut memang dimaksudkan bahwa isinya adalah kajian secara umum, tanpa menitikberatkan pada sisi Islamnya. Kemungkinan kedua ini berakibat hilangnya, atau minimal berkurangnya, ciri khas keislaman yang dimiliki Fakultas Syariah.

Sisi abu-abu tadi merupakan satu bagian yang perlu dicarikan jawabannya demi menentukan arah Fakultas Syariah ke depan. Hal tersebut seyogyanya menjadi pertimbangan utama ketika Fakultas menyusun dan mengevaluasi kurikulumnya. Perlu ada keberanian untuk menentukan pilihan seperti apa jati diri Fakultas Syariah yang sesungguhnya, minimal agar Fakultas memiliki ciri khas yang menjadi nilai lebih yang membedakan dengan yang lainnya.

Ainul Yaqin, M.Sy. (Ay/jx)

Leave a Comment